Senin, 28 Maret 2011

Kenangan Tentangmu

Apakah kamu ingat tanggal 10 Februari 2007? Atau mungkin 15 Februari 2007?
“Apa? Tidak?!


Kedua tanggal itu saja kau lupa! Apalagi tanggal 15 Agustus 2005 kan?! Apalagi sekarang, kau pasti juga tidak ingat padaku, kan? Tapi biarlah, kenangan itu memang hanya indah untuk dikenang!
Kau tau? 15 Agustus 2005 adalah pertama kalinya aku melihatmu dan mungkin juga jatuh cinta padamu. Aku tersenyum saat pertama kali melihatmu, membayangkan seandainya kita bisa saling kenal dan berteman baik karena aku tau aku pasti bukan tipemu. Hari itu adalah hari senin, hari pertama aku pergi ke sekolahku sendiri, tidak diantar oleh ayahku!

Sudah takdirnya bila di hari pertamaku pergi ke sekolah sendiri, aku melihatmu, agar aku bersemangat untuk bisa pergi ke sekolah! Kaulah semangatku selama tiga tahun kemarin! Semua berjalan biasa saja, aku menjadi pengagum rahasiamu yang selalu mencari-carimu di jam dan tempat yang sama setiap harinya. Yang kecewa bila tidak bisa melihatmu setiap paginya.
Aku masuk SMA yang tidak aku ingini, melainkan SMA yang diingini kedua orang tuaku. Wajar saja aku malas-malasan ke sekolah sehingga harus diantra ayahku sampai sekolah. Dan aku jadi bersemangat berangkat sekolah sendiri karena kamu, Karis!

Satu tahun aku jalani dengan menjadi pengagum rahasiamu. Sampai pada akhirnya, di Oktober 2006, kita dipertemukan lagi di suatu tempat karena ternyata sekolah kita memilih tempat yang sama untuk pelantikan anggota ekstra kurikuler baru. Dari situ aku jadi tau sedikit atau mungkin banyak tentangmu. Dari nama, alamat, bahkan kehidupanmu! Inilah takdir. Ternyata memang Tuhan menginginkan kita saling kenal, paling tidak untuk beberapa waktu.
Ternyata namamu Karisma Nugroho. Tinggal di Jalan Bakti bersama kedua orang tua, seorang kakak, dan dua orang adikmu. Alumni SMP Garuda, yang tidak lain adalah sekolah dari kebanyakan teman SMA ku. Kamu pernah pacaran sekali dengan tetanggamu sendiri yang juga satu SMA denganmu. Dan kamu juga seorang perokok.

Aku rasa informasi yang ku dapat adalah wajar. Kebanyakan orang yang jatuh cinta pasti menanyakan hal demikian. Aku bahagia bukan main mendapatkan informasi tersebut. Melebihi aku mendapat hadiah liburan ke Bali selama seminggu!
Begitulah selama berminggu-minggu, aku bertanya-tanya pada teman kita tentangmu. Mencari informasi sebanyak-bayaknya tentangmu. Sampai suatu siang aku menanyakan dirimu pada Fera. Teman sekaligus tetanggamu, yang sebenarnya agak kurang aku senangi. Tapi demimu, aku hilangkan rasa itu untuk memenuhi rasa ingin tauku padamu.

Sabtu, 10 Februari 2007

Hari ini pelajaran pertamaku di kelas adalah Geografi. Guruku sangat ontime dan selalu mencatat berapa lama setiap siswa terlambat di kelasnya. Aku sudah masuk blacklist-nya karena di saat pertemuan pertama, 3 minggu lalu, aku terlambat hampir 1 jam. Dan kembali lagi aku terlambat hari ini tapi tidak ada penyesalan di benakku. Mengapa? Karena kamu, Karis! Karena kamu!

Inilah kali pertama kita berada sangat dekat di dalam satu bus untuk berangkat ke sekolah. Sangat dekat! Betapa tidak? Kita duduk bersebelahan tanpa jarak! Ya, bersebelahan! Dan kamu pasti tidak tau jika wajahku amat sangat merah dan jantungku berdegup kencang seperti habis berlari lama! Bahkan saat aku harus turun di sekolahku, aku merasa sangat berat. Terlalu singkat!
Walaupun aku tau aku sudah cukup terlambat, tapi tidak ada ketakutan, penyesalan karena terlambat ataupun kekhawatiran tidak boleh masuk ke kelas. Tidak terlintas sedikit pun di benakku. Lagi-lagi karena kamu! Aku hanya bercerita tentang ini pada Bela, teman sebangkuku yang sangat mengerti aku. Dan sepanjang hari Sabtu ini aku selalu tersenyum-senyum seorang diri.

Kamis, 15 Februari 2007

Sekian lama aku menanyakan hal ini, akhirnya terjawab juga. Hari ini aku mendapatkan nomor HP mu! Aku mendapatkannya dari Fera, temanku yang juga tetanggamu, dan dia bilang kalau aku boleh menyimpan nomor HP mu! Sepulang sekolah akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirim SMS padamu. Dengan gaya SMSan yang masih trend saat ini, aku pun memulainya.

“Karis ya? Boleh kenalan gak?”
“Iya, gw Karis.. Ini sapa ya?”
“Gw Giva..”
“Oh, Giva temennya Fera ya? Yang anak SMA Perintis itu?”
“Iya, bener.. Fera uda cerita ya soal gw? Cerita apa aja?”
“Iya, dia uda cerita.. Cerita apa aja ya? Lupa, banyak sih yang diceritain.. Hehehe..”
“Oh, gitu.. Btw, lagi ngapain nih?”
“Gak ngapa2in kok. Cuma sms-an sama lu aja.”
“Ooooh..”

SMS pun berakhir karena aku hanya membalas demikian. Karena memang dia tidak sibuk, aku jadi bingung ingin menanyakan apa lagi. Ditambah lagi Fera sudah bercerita cukup banyak tentangku, aku jadi bertanya-tanya sebenarnya apa saja yang sudah diceritakan Fera kepada Karis. Aku takut Fera terlalu bocor untuk menceritakan tentangku pada Karis.

Dan semenjak hari ini, kita pun menjadi kenal walaupun kamu tidak pernah tau wajahku dengan jelas. Kau hanya tau namaku, tau bahwa aku perempuan berjilbab, dan suka memakai tas slempang bertuliskan Export.

Begitulah seterusnya, kita semakin akrab di dunia maya. Kamu ingat saat SMP Garuda mengadakan reuni? Aku datang juga walaupun aku bukan alumni SMP Garuda. Dan lagi itu semua karena aku ingin melihatmu! Kita memang bertemu, tapi hanya selintas. Kamu tersenyum padaku, itu kata temanku. Karena aku tidak mau ge-er saat itu.
Kamu ingat saat sampai tengah malam kita SMS-an? Aku tidak ingin berhenti SMS-an denganmu sampai kamu harus mendongengiku agar aku tidur?
Kamu ingat saat kamu datang ke sekolahku untuk bertemu Fitri, teman SMP mu? Aku melihatmu! Dan ternyata kamu juga melihatku tapi lagi-lagi hanya selintas. Aku maupun kau tak ada yang mau mendatangi.
Atau, kamu ingat saat kamu datang ke sekolahku untuk sparing futsal? Aku belum pulang saat itu karena harus membuat dinding pameran lukisan bersama beberapa teman sekelasku! Lagi-lagi kita bertemu tapi hanya selintas! Aku atau mungkin kau menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa lebih dekat lagi saat itu.

Saat kelas 3 SMA, aku makin jarang melihatmu menunggu bus lagi. Aku pikir kamu ke sekolah dengan naik motor, karena kebanyakan anak SMA ingin gaya dengan naik motor ke sekolah. Kita pun jarang SMS-an lagi.
Pada suatu sore, kamu ternyata mengirim SMS padaku untuk memberi tauku secara langsung bahwa HP mu dijual dan kamu mengirim SMS padaku dengan meminjam HP saudaramu.

“Va.. HP gw dijual, ini gw lagi minjem HP sodara gw yg nganggur..”
“Dijual kenapa, Ris? Mau ganti HP lagi yg lebih bagus ya? Hehe”
“Kagak juga, buat nambahin beli bensin aja.. Gw kan sekarang bawa motor bokap ke sekolah..”
SMS nya tidak aku balas karena HP ku mati. Saat HP ku dinyalakan, ada sebuah SMS masuk dari Karis yang berisi:
“Va.. Uda dulu yaa, sodara gw mau ngambil HP nya.. Besok-besok gw hubungin lagi..”
Aku terdiam beberapa saat membaca SMS ini. Senang bercampur aduk dengan panik atau mungkin takut. Senang karena aku yakin kamu punya sedikit rasa untukku saat ini. Panik karena kita lost contact untuk beberapa waktu atau mungkin selamanya. Pokoknya rasa ini sangat tidak menentu.

Ternyata tidak! Kita masih bisa berkomunikasi lagi beberapa bulan kemudian, di tahun 2008. Lagi-lagi aku tau nomor HP mu yang baru dari Fera. Itu juga karena aku bertanya pada Fera untuk menanyakan nomor HP mu yang baru.
Aku pun memberanikan diri lagi untuk mengirim SMS duluan padamu.

“Karis.... Apa kabarnya nih? Lama gak ketemu.. Giva”
“Hei, Va.. Tau nomor gw dari Fera yaa? Kabar gw baek kok, lu apa kabar?”
“Iya, tau dari Fera.. Emang siapa lagi?? Kabar gw baek juga kok.. Uda kelas 3 ya kita, hehe.. Mau lanjut kuliah kemana nih?”
“Gw sih maunya ke Jogja, kalo gak ya tetep disini aja.. Kalo lu mau kemana?”
“Gw sih maunya ke Malang ato Surabaya.. Pokoknya ke Jawa lah, hehe.. Sukses ya buat lo.. Semoga kita lulus dengan nilai bagus dan masuk kampus yang kita pengen..”
“Amiiinn..”

SMS pun berakhir. Beberapa hari kemudian Karis menelponku. Hanya sebentar, tidak sampai 2 menit ku rasa. Aku kaget karena back sound yang ku dengar adalah lagu Melly Goeslaw yang berjudul Gantung. Seolah-olah memang mempunyai arti tersendiri bagi cerita kami ini. Dan ternyata, SMS dan telpon ini benar-benar komunikasi kita yang terakhir.

Aku sudah memfokuskan diri untuk masa depanku. Belajar lebih giat lagi untuk bisa mencapai harapanku. Aku berhasil untuk bisa masuk universitas negeri di Pulau Jawa ini. Dan memulai kehidupan baruku tanpamu sedikit pun, Karis.
Aku benar-benar tidak tau lagi kabarmu. Terakhir kali, aku menanyakanmu pada Mei, tetanggamu. Dia bilang kalau kamu tetap di kota itu, tidak jadi ke Jogja. Hanya itu saja.

2 tahun lebih aku hidup di Pulau Jawa dengan bayang-bayang tentangmu yang terekam jelas di memoriku. Tidak dapat aku pungkiri aku tidak bisa melupakanmu walaupun kita sudah lost contact selama ini. Berharap aku bisa melupakanmu dan membuka hatiku untuk yang lain. Menjalani hidupku benar-benar tanpa berharap sedikit pun tentangmu.

1 Januari 2011

Aku menemukan account facebook-mu, tidak diprivasi sehingga aku bisa melihat informasi apa saja yang kau cantumkan. Ternyata kau masih tetap di kota kita dulu, melanjutkan kuliah di sana. Kamu bersama teman-temanmu membuat distro online. Aku juga melihat kamu sudah mempunyai pasangan. Tidak sedikit pun ada rasa kaget dengan informasi-informasi tersebut.

Yang aku kaget adalah gaya bahasamu yang jauh berbeda. Gaya bahasamu lebih kasar! Teman-temanmu juga terlihat seperti pemuda-pemudi nakal. Sungguh tidak bisa aku percaya. 3 tahun kamu berubah begitu drastis, bukan seperti Karis yang aku kenal dulu! Kecewa? Mungkin.
Akhirnya, kamu sendiri yang membuatku untuk benar-benar berhenti berharap padamu. Kamu membuat illfeel dengan kata-katamu yang bagiku kasar! Karis yang dulu hilang, hilang bersama keyakinanku untuk melupakanmu.
Mana mungkin aku menyesal pernah mengenalmu bahkan mencintaimu! Kamu adalah semangatku selama 3 tahun masa remajaku. Walaupun aku putuskan untuk tidak ingin mengenalmu lagi sekarang. Hanya berharap yang terbaik untuk hidup kita.

TITIPAN

“masalah hanyalah titipan yang nantinya akan mendewasakanmu dan membuatmu lebih bijak”


Masalah yang kali ini dititipkan padaku adalah kamu! Kamu yang sudah menghancurkan semuanya! Semua yang berawal dari ketidaksengajaan kita saat bertemu di negeri orang. Saat itu kita sama-sama ikut travel untuk berlibur ke Australia.
Siapa sangka bila dari 8 peserta travel, 6 diantaranya adalah pasangan kecuali kita. Keadaan itupun membuat kita mau tidak mau menjadi dekat karena yang lain memang memiliki dunia sendiri-sendiri.

Kepergianku ke Australia sebenarnya hanyalah untuk menghindari masalah. Masalahku dengan suamiku. Ya, aku memutuskan untuk menikah muda dengan orang yang usianya dua kali lipat dari usiaku.
Mana ku tau kalau menikah dengan orang yang usianya jauh lebih tua dari kita tidak akan ada masalah! Semua jauh dari harapanku 3 tahun lalu. Entah apa yang merasukiku 3 tahun lalu sehingga aku mau menikah dengannya.

Namanya Fano. Ternyata usianya tidak begitu jauh berbeda denganku, hanya berbeda 5 tahun. Kedekatan kami membuat kami saling bercerita tentang kehidupan kami.
Sekali lagi, karena aku pergi untuk menghindari masalah, melupakan masalahku sejenak, maka aku hanya bercerita yang baik-baik saja tentang hidupku. Aku tidak bilang bila aku sudah menikah. Lagipula siapa dia? Baru kenal! Dalam kamus hidupku, orang yang baru ku kenal tidak pantas tau tentangku lebih dalam.
Berbeda dengan Fano yang begitu terbuka padaku. Ternyata dia ke Australia juga untuk menghindari masalah dengan tunangannya.

“Jadi kenapa kamu pergi ke Australia?”
“Hanya berlibur, penat dengan kehidupan di Jakarta. Kamu?”
“Menghindar..”
“Dari seseorang atau dari masalah?”
“Masalah dengan seseorang..”
Aku terdiam. Aku juga bukan tipe orang yang ingin tau urusan orang lain. Terlebih orang itu sangat baru ku kenal.
“Tunanganku..”
“Hah? Kenapa? Tunangan?”
“Kamu melamun ya? Iya, tunanganku. Dia ingin agar aku segera menikahinya..”
“Wajar bukan? Wanita butuh kepastian! Aku juga akan melakukan hal yang sama bila di posisi tunanganmu!”
“Maksudmu? Aku harus segera menikahinya?”
“Tentu saja! Mau apa lagi memangnya? Kamu bertunangan dengannya adalah wujud keseriusan hubungan kalian bukan?
“Bukan.. Bukan begitu. Ini tak seperti yang kamu pikir..”
“Lalu?”
“Aku tidak mencintainya sedikit pun..”
“Lalu untuk apa kamu bertunangan dengannya? Mau mempermainkan perasaannya?”
“Tidak! Bukan! Bisakah kamu tidak lebih dulu men-judge? Bisakah kau mendengar ceritaku tanpa memotong?”

Aku kaget. Dia seperti bercerita dengan orang yang sudah begitu dekat dikenalnya. Aku pun hanya mengangguk sambil mengernyitkan dahi. Dan dia pun melanjutkan ceritanya.

“5 tahun lalu kami berkenalan. Dari awal aku memang tidak mempunyai perasaan yang lebih kepadanya. Biasa saja. Bahkan sampai sekarang.
Sampai dua tahun lalu, dia mengalami kecelakaan hebat. Dia koma selama beberapa hari. Saat koma dia selalu menyebut namaku, selalu. Saat itu aku tau kalau ternyata dia menaruh hati padaku.”

Sejujurnya aku tidak fokus pada ceritanya. Aku asyik jalan-jalan dengan pikiranku sendiri. Lagipula siapa suruh dia ingin aku hanya mendengar tanpa dipotong sedikit pun? Tiba-tiba dia minta pendapatku.

“Jadi bagaimana menurutmu?”
“Apa? Kenapa? Maaf, kamu bercerita terlalu cepat..”
“Harus ku ulang dari awal?”
“Aaaah, tidak! Tidak perlu! Bila aku di posisimu, aku akan mengikuti kata hatiku walau mungkin kata hatiku itu salah. Tapi ada rasa kepuasan tersendiri bila kita mengikuti kata hati kita. Menyesal atau tidak, itu belakangan. Karena penyesalan memang selalu hadir di belakang, bukan?”

Kali ini dia yang bengong dengan ucapanku. Aku kan hanya asal bicara agar dia tidak marah karena aku tidak mendengarkan certanya.

“Ada yang salah?”
“Tidak! Tiap orang bebas berpendapat. Dan kamu benar-benar mengejutkanku dengan jawabanmu!”
“Oh ya? Mengapa?”
“Baru kamu yang menanggapi demikian! Ikuti kata hati!”
“Kalau kamu memang ragu, ikuti saja kata hatimu! Aku wanita, wajar aku mengikuti perasaanku! Aku tidak mau banyak berpikir yang nantinya akan menambah masalah lagi!”

Gayaku seperti orang tegar yang berani menghadapi masalah saja. Padahal aku sama galaunya dengan dia. Lebih galau malah! Mau bagaimana lagi? Aku tidak mau dia tau kalau aku punya masalah yang jauh lebih rumit dari dia.
Begitulah selama seminggu. Ada saja selingan tentang masalahnya. Dan aku selalu menanggapinya dengan sok bijak! Itu masalahmu, dan kamu yang harus memutuskan penyelesaiannya, bukan? Jadi aku pikir pendapatku tidak akan berpengaruh pada keputusannya.

Akhirnya tiba saatnya kembali ke Indonesia, kembali berkutat dengan penatnya kehidupan di Jakarta dan masalah lamaku! Tapi kembalinya kami ke Indonesia tidak menyurutkan komunikasi diantara kami. Kami malah tambah dekat.
Kedekatan kami berujung pada perselingkuhan kami. Fano tidak juga menikahi tunangannya. Dan aku juga masih dengan suamiku, tentu saja hal ini tidak diketahui Fano.

Entah apa yang merasukiku sehingga aku memilih berselingkuh dengan Fano. Aku merasakan sesuatu yang lain dari Fano, cinta yang lebih tulus dari suamiku!
Sampai-sampai aku berani melakukan hubungan intim dengannya. Awalnya memang kami hanya sekedar menyalurkannya dengan ciuman yang penuh nafsu. Siapa sangaka kami jadi makin berani?

Ada kenikmatan tersendiri bercinta dengan Fano! Aku malah lebih sering melakukannya dengan Fano daripada suamiku sendiri! Setidaknya aku beruntung karena aku tidak hamil setelah selama beberapa bulan aku rutin bercinta dengannya. Sampai suatu ketika, yang aku takutkan terjadi! Aku hamil dan aku tidak tau sperma siapa yang telah membuahi sel telurku. Suamiku sendiri atau Fano?
Suamiku menyadari keanehanku. Suamiku juga bertanya apakah aku sudah datang bulan atau belum.

“Akhir-akhir ini kamu makannya banyak yaa?”
“Masa’ sih, Mas?”
“Iya.. Jangan-jangan kamu hamil?”
“Apa? Hamil? Gak deh..”
“Loh, kok gitu jawabnya? Gimana kalo kita periksa ke dokter aja?”

Aku terdiam! Kenapa suamiku begitu perhatian padaku? Di saat begini justru dia semakin perhatian. Aku takut kalau anak ini anak Fano! Sangat takut bagiku untuk menghadapi kenyataan ini! Masalahku berganti lagi sekarang!

Ternyata aku positif hamil. Rasanya aku ingin keguguran saja! Aku tidak peduli dengan anak di dalam rahimku ini! Sangat-sangat tidak ingin peduli! Aku pun memberanikan diri berbicara pada Fano masalah kehamilanku ini.

“Aku hamil....”
“Apa? Hamil? Bagus dong! Aku jadi punya alasan untuk menikahi Gina!”
“Apa? Bagus katamu?”
“Ada yang salah? Aku mencintaimu! Aku akan bertanggunjawab akan kehamilanmu ini!”
“Aku sudah menikah! Saat aku melakukannya denganmu, aku juga rutin melakukannya dengan suamiku! Aku tidak tau ini anak siapa! Aku tidak tau! Aku bingung! Aku takut!“

Fano kaget bukan main! Dia amat kecewa denganku! Wanita yang dianggapnya sempurna benar-benar sempurna! Sempurna menghancurkan hidupnya! Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hening pun menyelimuti kami.
Suamiku malah sibuk mempublikasikan kehamilanku ini kepada semuanya! Suamiku pun melakukan syukuran atas kehamilanku ini dengan mengundang semua saudara dan kerabat. Aku kaget saat melihat Fano datang di acara syukuran atas kehamilanku.

Ternyata Fano adalah keponakan suamiku. Aku shock! Rasanya aku ingin mati detik ini juga! Aku hanya bisa mematung! Betapa tidak! Dosa apa yang sudah ku perbuat ke suamiku? Aku dan Fano sama terkejutnya! Ketika pernikahanku dengan suamiku, Fano memang tidak datang karena sedang ke Kanada. Kami juga tidak pernah bertemu dalam acara keluarga apa pun. Jadi kami memang tidak saling mengenal!
Aku dan Fano hanya bisa saling memandang dan berharap anak yang aku kandung adalah anak suamiku! Bukan anak Fano! Dan hanya waktu sekarang yang bisa menjawab pertanyaanku dan Fano!

“anak ini, masalah ini...
keduanya sedang dititipkan padaku!”