Selasa, 27 Maret 2018

Review Film: The Last Word (2017)

Setelah terkena serangan nyeri haid, saya menjadi malas untuk menulis :( Sebenarnya banyak yang ingin saya tuliskan tapi karena nyeri haid semuanya buyar dan berlanjut selama berhari-hari. Kali ini saya mau mencoba me-review film yang "ngena" di hati saya yang berjudul The Last Word. Saya mau review ya bukan menulis resensi atau sinopsisnya, dan saya kaitkan dengan apa yang saya rasakan setelah menontonnya :)

Awal mula saya menonton film ini hanya iseng. Pada saat itu, bookmyshow bekerjasama dengan Telkomsel untuk promo pembelian tiket nonton di bioskop dengan menukar poin Telkomsel. Karena saat itu saya masih mahasiswa yang uang jajannya terbatas, tidak salah dong kalau saya memanfaatkan gratisan :)) Saya hanya bermodalkan ongkos PP dari tempat kos menuju bioskop. Saya memutuskan untuk menonton di CGV MOI karena saat itu hanya CGV MOI yang tidak perlu menambah biaya lagi untuk menonton :)) Jadi ya memilih film yang ada di situ dan itu adalah film The Last Word.

Sumber: http://www,imdb,com/title/tt5023260/

Saat menonton film, tidak jarang saya tertawa karena kekonyolan para pemainnya. Emosi saya cukup terbawa selama film berlangsung dan saya sempat meneteskan air mata :( Walaupun film ini mendapat rating yang biasa saja (bahkan jelek), tapi saya mendapat "pesan" dari film ini. Ya, selera saya tentang musik, film, dan yang lainnya sepertinya cukup "unik" :)) Karena ketika sebuah karya banyak diapresiasi baik oleh orang, saya justru mempertanyakan di mana letak bagusnya? Begitu pula ketika sebuah karya mendapat apresiasi buruk dengan menjelaskan ini itu, saya mempertanyakan di mana keburukannya?

Oke, lanjut ke filmnya. Saya baru tahu kalau di luar negeri sana, di surat kabar harian akan ada pojok berita untuk berita kematian seseorang yang berpengaruh atau setidaknya pernah memiliki posisi penting. Entah memang demikian atau hanya ada di film ini saja. Kalau di Indonesia, berita kematian yang ada di surat kabar biasanya berbayar seperti iklan.

Di film ini menceritakan tentang Harriett Lauler (Shirley MacLaine), seorang wanita tua yang menyebalkan. Suatu pagi dia membaca pojok berita tentang kematian seseorang yang ia kenal. Menurutnya, apa yang ditulis sang penulis adalah melebih-lebihkan karena sosok yang telah meninggal tidak seperti yang dituliskan. Lalu, karena penyakit yang diidapnya dan vonis dokter yang menyebut hidupnya tidak lama lagi, ia berniat berubah. Ia sadar bahwa selama ini dia cukup menyebalkan dan apabila meninggal nanti maka tidak ada yang akan menulis hal baik tentangnya di surat kabar.

Ia menyewa seorang penulis berita kematian, yaitu Anne Sherman (Amanda Seyfried) dan juga mengangkat anak dari panti asuhan, yaitu Brenda (AnnJewel Lee Dixon). Bertiga mereka menjadi tokoh utama di film ini. Sekian lama mereka menjalani kehidupan sehari-hari bersama hingga akhirnya hari kematian Harriett Lauler tiba. Anne Sherman akhirnya menuliskan apa yang selama ini ia alami bersama Harriett Lauler selama sisa hidupnya, menuliskan apa yang sebenarnya, tidak dilebihkan dan dikurangi.

Film ini mengajarkan kita tentang bagaimana seseorang ingin diingat sebagai orang baik setelah kematiannya, betapa orang tersebut menyebalkan ataupun jahat. Prinsip saya seketika berubah, jika ingin tahu bagaimana seseorang yang tidak begitu dekat dengan kita, lihatlah saat dia meninggal. Mungkin terlambat tapi itulah penilaian yang sesungguhnya, tidak ada rekayasa :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar